Hmmmm….suara. Di mana-mana ada suara. Seperti halnya saat ini, saat saya berhadapan dengan netbook di ruang makan ini , saya mendengar beraneka ragam suara. Ada yang bersamaan, ada pula yang bergantian terdengar. Suara kursi berderit, keyboard netbook terdengar beradu dengan jemari tangan. Suara mesin lemari es dan penyejuk udara yang berdengung, detak jam dinding, dan samar-samar terdengar suara televisi di ruang keluarga, belum lagi deru suara mobil yang melaju melintasi jalan di samping rumah saya. Sesekali saya juga mendengar suara decit tikus yang ada di jalanan, sepertinya mereka sedang ada pertemuan keluarga, hehehehehe.
Ya, saya bisa mendengar suara-suara itu. Terasa dekat, dan terasa akrab ditelinga. Jika saya bisa mendengar semua suara ini dan tahu suara apa yang sedang berbunyi sekali pun ada beberapa yang tak aku lihat saat itu secara langsung, tapi saya sangat yakin dengan pendengaran saya. Pendengaran ini tidak menipu, tapi lebih tepatnya kenapa saya bisa menjelaskan semuanya? Karena paling tidak saya pernah melihat atau bersentuhan langsung dengan apa yang aku baru saja saya dengar. Saya tahu bagaimana suara motor, bagaimana suara jam yang berdetak dan lain sebagainya, karena pernah melihat, mengetahui dan mendengarnya. Jika tak pernah mendengar dan mengetahui sebelumnya, sudah pasti saya akan bertanya-tanya suara apakah itu. Kemungkinan hanya bisa menebak, dan belum tentu tebakan itu meleset atau pun benar.
Sahabat, seperti itu juga dengan pendengaran rohani kita. Kita akan bisa mendengar suaraNya, tahu bagaiamana suaraNya, dan kapan Ia bersuara untuk kita, jika kita bergaul denganNya, berhubungan secara intim denganNya. Itu yang membuat kita dapat mendengar suaraNya dan kita dapat belajar mengerti serta memahami apa maksud di balik rencanaNya dalam setiap kehidupan kita. Semakin kita akrab denganNya, semakin kita menjadi peka dan dapat mengenal suaraNya.
SuaraNya akan terasa lebih dekat dan melekat jika kita hidup lebih dekat dan melekat denganNya senantiasa. Mudah? tidak, kadang begitu banyak suara lain yang mengacaukan fokus dan pendengaran kita padaNya. Itu yang mengakibatkan kita lebih mendengar suara yang lain dan tak mampu mendengar suaranya; suara kita sendiri, suara orang lain bahkan suara-suara yang seharusnya tidak kita dengarkan, malah menjadi fokus utama kita.
Ketika kita dalam kesenangan, apakah kita akan memilih untuk mendengar suara yang membuat kita terlena dan jauh dari mendengarkan suaraNya? Saat dalam kelemahan, waktu persoalan silih berganti warnai hidup kita, ketika luka dan duka menghampiri lembar hari kita, apakah kita akan lebih mendengarkan suara-suara yang membuat kita semakin lemah? Pilihan dan keputusan ada di tangan kita. Selamat memilih dan memutuskan, mau mendengar suaraNya lebih lagi atau tidak?
This post is also available in: English
Facebook Comments
Default Comments